Current Date:

Kinerja OJK Tidak Memuaskan Berdasarkan Survei

Industri perbankan di Indonesia memiliki risiko relatif tinggi di antara negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik berdasarkan laporan dari S&P...

Industri perbankan di Indonesia memiliki risiko relatif tinggi di antara negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik berdasarkan laporan dari S&P Global Rating. Risiko ini diukur dari persepsi terhadap risiko ekonomi dan risiko industri. Sejumlah kasus di industri perbankan yang terjadi beberapa waktu terakhir menunjukkan betapa rentannya industri keuangan tanah air. Achmad Yunianto Direktur Riset Citiasia mengungkap, kondisi tersebut pula yang membuat peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dipertanyakan karena bicara tentang pengelolaan risiko industri keuangan, maka peran sentral OJK dalam tata kelola industri keuangan nasional tidak bisa dilepaskan. OJK memiliki peran pengaturan, pemeriksaan, dan perlindungan konsumen. Namun, lembaga itu dinilai lemah dalam menguasai aspek bisnis serta lingkungan industri sehingga berpengaruh pada kompetensi pengawas dalam mengantisipasi risiko dan perkembangan industri jasa keuangan. Pelaku industri jasa keuangan melakukan survei terbaru, mulai dari perbankan hingga multifinance. Responden diminta memberikan skor terhadap lima fungsi utama OJK. Hasilnya, indeks persepsi kinerja pengaturan dan pengawasan kelembagaan OJK 63,2 persen, pengaturan dan pengawasan kesehatan 59,3 persen, pengaturan dan pengawasan kehati-hatian 66,5 persen, pemeriksaan 59,9 persen, dan perlindungan konsumen 58,8 persen. “Jika dilihat secara keseluruhan, indeks persepsi kinerja OJK sebesar 59,3 persen,” ujar Achmad Yunianto di Jakarta, Selasa (28/1/2020).  Dalam survei tersebut, pelaku industri multifinance memiliki kepuasan terendah terhadap kinerja OJK sebesar 51,9 persen, disusul perbankan 55,0 persen, lembaga jasa keuangan khusus 63,3 persen, dan asuransi 65,2 persen. Survei ini berjudul "Studi Penguatan Industri Keuangan: Perspektif Industri Terhadap Regulator”. Survei dilakukan pada 28 November - 11 Desember 2019, menggunakan metode purposive sampling dengan 184 responden level manajer ke atas dari 114 industri perbankan, multifinance, asuransi, dan lembaga jasa keuangan khusus. Berdasarkan survei tersebut, para praktisi lembaga keuangan menilai kinerja pengaturan dan pengawasan kelembagaan OJK tidak maksimal. Muncul persepsi bahwa OJK mempersempit pengembangan dan ruang inovasi industri keuangan. “Keluwesan dalam balancing antara pengelolaan risiko dan pengembangan industri, serta keberlanjutan usaha dirasakan masih kurang mendapatkan perhatian dalam regulasi dan implementasi fungsi ini,” Ucap Achmad Yunianto. Praktisi perbankan juga melihat belum jelasnya arah pengembangan industri, lemahnya penguatan pemahaman bisnis dan teknis regulator, serta belum maksimalnya peran mediasi dan edukasi regulator bagi pemegang saham. Lalu, hal lain yang disoroti adalah kurangnya daya saing dan efisiensi. Para praktisi merasa persaingan sehat dan keberlanjutan usaha belum mendapatkan porsi perhatian memadai dalam langkah pengerjaan yang dikeluarkan dan dilaksanakan oleh OJK.  “Kalangan lembaga pembiayaan menyoroti pentingnya kolaborasi dengan asosiasi guna meningkatkan kemampuan manajemen risiko. Sementara kalangan perbankan memandang perlunya sistem pengawasan yang mampu mendeteksi adanya penyimpangan,” tutur Achmad Yunianto. Pada fungsi pemeriksaan, kebanyakan praktisi mengidentikkan kompetensi dengan penguasaan terhadap aspek bisnis dan lingkungan bisnis industri. Lemahnya kompetensi ini dipersepsikan berpengaruh terhadap konsistensi, obyektivitas, serta kemampuan balancing risiko dengan inovasi dari para pengawas. Kelompok perbankan memandang sosilisasi dan edukasi sebagai langkah preventif dianggap masih kurang optimal. Bagi kelompok asuransi, komunikasi yang jelas dan intensif, serta keberpihakan terhadap nasabah menjadi hal yang perlu diperkuat dalam perlindungan nasabah. Sementara untuk kelompok lembaga pembiayaan, kejelasan mekanisme perlindungan nasabah, porsi perhatian yang berimbang kepada perusahaan pembiayaan, dan kolaborasi dengan asosiasi menjadi hal yang perlu mendapat atensi. “Sedangkan bagi kelompok lembaga jasa keuangan khusus, sosialisasi dan edukasi yang intensif dipandang penting dalam upaya preventif, sementara kejelasan proses recovery dipandang penting dalam upaya kuratif,” tutup Achmad Yunianto.