Pengembangan smart village menjadi syarat yang membuktikan adanya dorongan berdasarkan bottom-up, yaitu dorongan dari masyarakat agar lebih mampu menggali potensi dan menaikkan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Keinginan tersebut lalu didukung oleh pemerintah desa dengan cara menaruh pelatihan dan pemberdayaan supaya mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan dan kualitas hayati masyarakatnya. Dengan demikian pemanfaatan teknologi informasi dijadikan menjadi indera atau “tools” sebagai upaya mewujudkan asa dan bukan menjadi tujuan atau “goals”. Dari pemahaman tadi, maka pengembangan smart village didasarkan pada pendekatan berdasarkan “bottom-up” atas lima prakarsa dan asa warga, agar bisa mendorong hinggamencapai peningkatan kesejahteraan, serta kualitas hayati.
Pemerintah, masyarakat dan lingkungan pedesaan adalah elemen pembentuk smart village yang mempunyai kiprah serta fungsi yang berbeda. Namun, ketiga elemen tadi sebagai bagian integral yang saling mempengaruhi, oleh sebab itu, penerapan konsep smart village wajib didasarkan pada akomodasi berdasarkan ketiga elemen tadi termasuk di dalamnya karakter, kiprah, dan fungsi yang dijalankan berdasarkan masing-masing elemen. Konsep berbagai desa dengan “smart village” ternyata telah dilakukan pada beberapa desa, di antaranya yang perlu menerima atensi spesifik yaitu pertama, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Secara administratif Desa Panggungharjo terdiri dari 14 Pedukuhan yang terbagi dalam 118 RT dan mendiami daerah seluas 564 atau lima hektar serta berpenduduk 28.383 jiwa padatahun 2019. Di desa ini, seluruh pemangku kepentingan melakukan kemitraan strategis dan kolaboratif, menjadikan desanya menemukan sejumlah penemuan unggulan antara lain “Satu Rumah, Satu Sarjana”, “Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak”, “Pos Pelayanan Bantuan Hukum dan HAM”, “Sekolah Partisipasi” dan “Inovasi Puskesmas Sewon”. Desa ini mempunyai kerangka acara terintegrasi yang memadukan antara penggunaan TIK berbasis serat optik, aktivitas ekonomi produktif, aktivitas ekonomi kreatif, peningkatan pendidikan-kesehatan, sosial budaya dan upaya pengentasan kemiskinan.
Smart village sudah diterapkan di salah satu desa Kabupaten Banyuwangi secara sedikit demi sedikit sebagai pusat pelayanan publik yang mampu diandalkan. Sejak diluncurkan pada Mei 2016, Menkominfo Rudiantara, saat ini ada 189 desa yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi semuanya telah teraliri internet berbasis serat optik (fiber optic) yang bertransformasi sebagai Smart Kampung. Begitu pula pada seluruh OPD, 45 Puskesmas, 25 Kecamatan & 28 Kelurahan, semuanya telah terkoneksi memakai media wireless dan fiber optic.
Ada tujuh dimensi Smart village yakni Pelayanan Publik berbasis Teknologi Informasi, Pelayanan Kesehatan, Pelayanan Pendidikan, Pemberdayaan Ekonomi, Penanggulangan Kemiskinan, Informasi Publik dan Tata Kelola Keuangan Desa. Untuk 14 indikator yang wajib dipenuhi yaitu: wifi Gratis tanpa password, tempat bermain anak, perpustakaan/sudut baca, sedekah oksigen/tanam pohon, penjaga tempat kerja 24 jam, toilet bersih, gerbang terbuka 24 jam, honor satgas pemburu kemiskinan, keterbukaan informasi publik, ruang laktasi/menyusui, ruang lampu penjelasan kantor, ramah difabel, layanan berbasis IT dan pengaduan masyarakat.
Desa Genteng Wetan
Desa Genteng Wetan sudah membuat beberapa pelaksanaan sebagai bagian dari Smart Kampung, di antaranya: Siap Cantik (Sistem Aplikasi Posyandu menggunakan Pencatatan elektronik) merupakan pelaksanaan dimana rakyat menerima kemudahan untuk mendaftarkan dan memperoleh layanan posyandu yang diselenggarakan oleh kader posyandu, khususnya ibu-ibu untuk melihat perkembangan dan menerima tips sertaberita seputar kesehatan. Kemudahan yang diberikan yakni masyarakat hanya perlu memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) selanjutnya tinggal menentukan jenis layanan yang diinginkan, sehingga tidak perlu datang ke kantor desa.
Go Ndower (Layanan Delivery Order Warga Enteni pada Rumah) merupakan sebuah layanan publik dukungan dari Simas Mandiri Plus, “Antar Surat Layanan Gratis di Rumah Pemohon Gratis" menggunakan motor listrik murah biaya & ramah lingkungan dengan petugasnya yang adalah seorang tukang kebun. Rantang Kasih adalah acara hadiah kuliner bergizi kepada lansia miskin dan sebatang kara yang terdapat diDesa 36 Genteng Wetan serta penyedia Rantang Kasih diberikan kepada pelaku UKM Catering yang terdapat pada desa tadi.
Desa Dermaji
Desa Dermaji yang ada di Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Seluruh pemangku kepentingan di desa ini di bawah kepemimpinan Kepala Desa yang visioner telah mengantisipasi adanya pertarungan penuaan penduduk, yang dijadikan keliru satu penemuan terkait upaya mereka mewujudkan smart village yang tidak meninggalkan “local wisdom dan local heritage” denganmembentuk Posyandu Lansia. Pembuatan Posyandu ini berdasarkan visi yang jelas terkait ancaman penuaan penduduk pada Indonesia pada tahun 2045 yaitu sebesar 57,0 juta jiwa atau 17,9%.
Meskipun demikian, saat merealisasikan Posyandu Lansia ini, ditemukan sejumlah kekuranganantara lain belum adanya peraturan wilayah serta surat keputusan bupati tentang pelaksanaan Posyandu Lansia, Bidan dan kader belum menerima training yang memadai, minimnya aturan untuk operasionalisasi Posyandu Lansia, Insentif yg masih kurang untuk para kader Posyandu Lansia,belum adanya lagu mars Lansia, serta menggunakan muatan lokal pada Desa Dermaji.
Ada sejumlah rekomendasi untuk mengatasi kekurangantadi yaitu pertama, melakukan training untuk kader Posyandu Lansia, membuat draf perda mengenai kesejahteraan lansia dan pembentukan posyandu lansia, perlu dukungan pemerintah daerah dalamfinalisasi perda mengenai kesejahteraan lansia dan pembentukan Posyandu Lansia, membuat video aktivitas Posyandu Lansia dan melakukan monitoring serta penilaian aktivitas Posyandu Lansia.
Apa yang bisa kita ambil dari masalah ini?
Realisasi proyek perubahan yang dilaksanakan desa diatas menggunakan penerapan konsep Smart Village atau Smart Kampung yang menerangkan kepemimpinan para pemangku kepentingan yang dalam pelaksanaannyapatut diandalkan, lantaran orang-orang tersebutpula merupakansosok yangmempunyai kepiawaian dalam melakukan kerjasama, koordinasi, komunikasi atau obrolan strategis, dan kerja sama menggunakan segala macam jenis pemangku kepentingan yang terdapat pada desa-desa tadi khususnya para pemangku kepentingan bercirikan apathetic dan latent terhadap adanya proyek perubahan didesanya.
Menjadi Reformer atau changemakers bukanlah profesi atau pekerjaan yang mudah, lantaran sejatinya perubahan itu misterius, terjadi setiap saat, membutuhkan waktu dan kekuatan, serta tidak seluruh orang mau diajak berubah, lalu perubahan mengganti konduite dan kebiasaan, sebagai akibatnya adalah sebuah keniscayaan ketika melakukan atau mengelola perubahan menggunakan kepemimpinan adaptif, komunikatif serta berperilaku baik.
Menurut Lao Tze, a journey of a thousand miles must begin with a single step (bepergian ribuah mil wajib diawali menggunakan satu langkah), demikian pula dalam merancang proyek perubahan wajib dilakukan secara cermat menggunakan, menganalisis kekurangansecara komprehensif untuk menentukan sebuah pertarungan yang akan diselesaikan pada proyek perubahan, bukan sebagai langkah pertama yang mengganjal perjalanannya. Maka dari itu penting bagi kita mengetahui tujuan dan akhir dari perubahan smart city dan smart village.
Ditulis oleh Diva Maharani
Sumber:
- Fajrillah, Mohamad, Z., & Novarika, W. "Smart City Versus Smart Village". Jurnal Mantik Penusa 22, no. 1(2018): 1–6.
- Haryanto, Joko Tri. "Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, dan Lingkungan Pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta." Jurnal Kawistara 3, no. 1 (2013).
- Meijer, Albert, and Manuel Pedro Rodríguez Bolívar. "Governing the Smart City: A Review of The Literature on Smart Urban Governance." International Review of Administrative Sciences 82, no.2 (2016): 392-408.
- Munir, D. "SMART VILLAGE: Desa Maju, Desa Bahagia." APEKSI: Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, 2017.